Rabu, 17 April 2013

Membincangkan Cinta dalam Karya Sastra

Oleh Desi Sommalia Gustina

Cinta merupakan sebuah persoalan yang acap mengisi takdir kehidupan manusia. Karena itulah barangkali pembicaraan mengenai cinta menjadi topik yang kerap menggoda. Begitupun dalam karya sastra, membincangkan masalah cinta laksana tema yang tak pernah usang. Baik ketika membaca karya yang ditulis di masa lalu, maupun yang terbaru. Hal ini tentu tidaklah mengherankan, karena persoalan cinta merupakan hal yang sangat universal. Di mana setiap makhluk hidup dapat merasakannya.

Namun, kesedihan dan kehilangan selalu hadir dalam karya sastra yang mengusung tema cinta. Simak saja dalam novel 1998 karya Ratna Indraswari Ibrahim, betapa Putri sangat terpukul ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Neno—lelaki yang begitu ia cintai, dinyatakan hilang dan tak pernah kembali setelah terlibat dalam serentetan aksi demonstrasi pada masa Orde Baru. Atau lihat pula dalam Helen of Troy, ketika Helen dipersunting oleh raja, yang menyebabkan Paris berontak, dan kembali merebut hatinya. Atau dalam novel Laila Majnun, di mana dalam novel tersebut digambarkan bagaimana Majnun menempuh cara-cara ‘gila’ demi memperjuangkan cintanya terhadap Laila, perempuan yang ia cintai. Juga dalam Romeo and Juliet-nya Shakespeare, yang justru membuat kecut, di mana adegan percintaan itu malah diakhiri dengan kematian antara kedua kekasih. Meskipun tidak tertutup pula kemungkinan kisah cinta yang berakhir happy ending, seperti dalam kisah cinta Cinderella, di mana mereka hidup berbahagia.

Sabtu, 16 Maret 2013

Sinopsis Novel Rinai Kabut Singgalang

Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat paman Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─ bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.

Kamis, 14 Maret 2013

Rinai Kabut Singgalang Sebuah Novel Rasa Minang

Oleh Irzen Hawer*)

ISTILAH “novel Minang” pernah penulis dengar di kalangan sastrawan atau di kalangan penikmat sastra.

Novel Minang? Apa pula itu novel Minang? 

Pada kesempatan ini penulis ingin memberikan sedikit gambaran tentang istilah novel Minang ini. Secara metode analitik (bahasan sebagian), latar merupakan struktur sebuah teks sastra. Latar merupakan elemen struktural fiksi yang menjelaskan ruang dan waktu terjadinya penceritaan. Seperti latar tempat yang berkaitan dengan geografis, latar waktu berkaitan dengan historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan atau budaya dan adat istiadat.

Apakah budaya dan adat minang merupakan ‘realitas objektif’ dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang kita bicarakan ini? 

Kamis, 14 Februari 2013

Mereka Bicara Tentang Novel Rinai Kabut Singgalang


Ketika saya membaca Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan, langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa TV di negeri ini, yang senang dengan kisah mengharu biru. (Gol A Gong, Novelis, pendiri Rumah Dunia)

Alam Minangkabau cukup terekam dalam novel ini. Gaya bercerita pengarang yang merangkum peristiwa tersusun rapi, membuat pembaca tetap terikat. “Modal yang baik buat pengarang. (Aspar Paturusi, Novelis & Aktor Film Ketika Cinta Bertasbih 2)

Kisah romantis yang menggugah kearifan lokal. Bollywood rasa minang. (Abidah el Khalieqy, Penulis Cerita Film Perempuan Berkalung Sorban)

Rabu, 13 Februari 2013

Koran TEMPO Tulis Resensi Novel Rinai Kabut Singgalang


Singgalang adalah nama penting bagi Sumatera Barat. Ini adalah nama gunung dengan ketinggian 2.877 meter. Maka, ketika Muhammad Subhan menggunakan kata “Singgalang” di novelnya ini, pembaca akan langsung “terbawa” pada lokalitas Sumatera Barat.

Rinai Kabut Singgalang bercerita tentang perjuangan seorang remaja dalam meraih cita-citanya.  Di sana juga ada konflik kultur. Ada Maimunah asal Pasaman, Sumatera Barat, yang menikah dengan lelaki Aceh bernama Munaf, lalu tinggal di Aceh. Dari pernikahan itulah lahir tokoh Fikri, tokoh utama novel ini. Namun perkawinan itu ditentang oleh keluarga Maimunah.

Selasa, 12 Februari 2013

Novel Rinai Kabut Singgalang Jadi Koleksi Pribadi di Fadli Zon Library Jakarta


Novel Rinai Kabut Singgalang menjadi koleksi pribadi di Fadli Zon Library Jakarta.


PESAN SEGERA NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG:
Dapatkan Novel “Rinai Kabut Singgalang” edisi terbaru lewat Penerbit FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dengan menghubungi nomor pemesanan buku 0812 5982 1511 (Mbak Aliya Nurlela) atau lewat email: forumaktifmenulis@yahoo.com. Kunjungi juga blog http://www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Salam santun,
TIM PROMO RKS
Pare, Kediri, Jatim
www.famindonesia.com

Senin, 11 Februari 2013

Bahasa Cermin Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang


Oleh Elly Delfia *)

Perkembangan kesusasteraan di Sumatera Barat tentu tak bisa dilepaskan dari perkembangan bahasa. Bahasa merupakan medium yang menentukan kesuksesan sebuah karya sastra. Pengunaan bahasa yang baik dan pemilihan diksi yang tepat menjadi ukuran penilaian sukses tidaknya sebuah karya sastra.

Demikian juga dengan penilaian dewan juri terhadap Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang digelar pada tahun 2010 lalu. Penggunaan bahasa dengan kekompleksitasannya nan mengagumkan sebagai buah kreativitas pengarang menjadi penilaian dewan juri untuk menentukan bermutu atau tidaknya sebuah karya sastra, dalam hal ini novel. Kemudian, dalam dunia kepenulisan, bahasa melabeli pencip­tanya dengan sebutan pengarang.

Senin, 15 Oktober 2012

Gola Gong: Novel Rinai Kabut Singgalang, Mendekatkan Sastra Lewat Televisi


Ketika saya membaca “Rinai Kabut Singgalang” (Rahima Intermedia, Januari 2011) karya Muhammad Subhan, langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa TV di negeri ini, yang senang dengan kisah mengharu biru. Di dalam dunia sinetron, ada istilah “soap opera convention”, yaitu tema popular seperti Cinderella syndrome, cinta terlarang, odyphus complex, petualangan, konflik dua keluarga, persahabatan, dan perselingkuhan. Tema-tema keseharian ini sangat digemari pemirsa sinetron di tanah air, karena merasa sangat dekat dengan kehidupan mereka.

Membaca Novel Rinai Kabut Singgalang adalah Membaca Muhammad Subhan


Oleh Sulaiman Juned *)

Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan Munaf. Membaca Rinai Kabut Singgalang (RKS) terkesan seperti menghadirkan film kepada pembaca melalui bahasa sastrawi yang menggoda.

Peta Sastrawan Muda Minangkabau Dekade Ini


Oleh Fadlillah Malin Sutan

Di tengah semangat penuh kegairahan, para sastrawan muda terjun ke dunia nasional. Mereka seperti  pendekar remaja yang baru turun gunung. Mereka baru mengenal dunia persilatan sastra. Namun sesuatu yang dapat dicatat tentang sepak terjang mereka adalah “mereka sudah berada di tataran pembicaraan dunia sastra nasional”. Mereka sudah menjadi bahan pergunjingan Nirwan Dewanto, Hasif Amini, Maman S Mahayana, Sout Situmorang, bahkan mereka sebagian besar diundang dalam Festival  Internasional Ubud Writers dan mendapat anugrah sastra Pena Kencana.

Sabtu, 24 Desember 2011

Rinai Kabut Singgalang Diomongkan di I:boekoe Jogja

-->
Oleh Ubaidilah Muchtar

Hari ini sungguh menyenangkan. Sejak matahari belum benar keluar dari tempatnya aku sudah memasuki palataran rumah ini. Ya, di rumah di Jalan Patehan Wetan No. 3 Yogyakarta. Sebenarnya harus kusampaikan bahwa kedatanganku sungguh terlambat. Namun kini aku ingin membagi kisahku ini.

Sehari sebelum kedatanganku ke rumah ini aku masih berada di ibu kota negara. Hari kemarin hari Selasa. Hari Selasa tanggal 24 Mei 2011. Pagi ini aku harus pergi ke Auditorium Ragunan. Ya, orang-orang akan menyebutnya Gelanggang Ragunan. Hari ini kawanku Daurie Bintang punya acara. Acaranya dihadiri sekira tiga ratusan mahasiswa calon guru dan mereka yang sudah menjadi guru.

Sastra untuk Siapa?

-->
Oleh Halim Mubary

Peran media cetak seperti koran dan majalah yang terbit di Aceh, saya pikir memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi perkembangan sastra di Aceh, khususnya prosa dan puisi. Tak dapat dipungkiri, tanpa peran koran yang menyediakan halaman seni dan budaya yang di dalamnya menyediakan rubrik cerpen, puisi, esai, dan resensi buku, mustahil rasanya bisa menjaring banyak penulis muda berbakat. Pun lahirnya sejumlah komunitas seni dan sekolah menulis, juga memberika andil besar dalam mencetak penulis muda. Gemasastrin FKIP Unsyiah juga menjadi miniatur tersendiri dalam menyumbangkan sumber daya sastra di Aceh dalam kurun waktu satu dekade tarakhir.

Namun, perkembangan sastra (prosa dan puisi) yang sempat menjadi booming ketika Aceh berada dalam masa rahab-rekons—di mana sejumlah penulis berhasil mengikat diri dengan sejumlah penerbit buku, sehingga para penulis tidak lagi menyimpan naskah dokumennya hanya dalam flashdisk maupun computer. Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang lahir akibat bencana tsunami pada 2005, paling tidak tercatat sebagai penyumbang terbanyak dalam menerbitkan sejumlah buku penulis Aceh berupa novel, antologi puisi, dan cerpen.