Sabtu, 24 Desember 2011

Rinai Kabut Singgalang Diomongkan di I:boekoe Jogja

-->
Oleh Ubaidilah Muchtar

Hari ini sungguh menyenangkan. Sejak matahari belum benar keluar dari tempatnya aku sudah memasuki palataran rumah ini. Ya, di rumah di Jalan Patehan Wetan No. 3 Yogyakarta. Sebenarnya harus kusampaikan bahwa kedatanganku sungguh terlambat. Namun kini aku ingin membagi kisahku ini.

Sehari sebelum kedatanganku ke rumah ini aku masih berada di ibu kota negara. Hari kemarin hari Selasa. Hari Selasa tanggal 24 Mei 2011. Pagi ini aku harus pergi ke Auditorium Ragunan. Ya, orang-orang akan menyebutnya Gelanggang Ragunan. Hari ini kawanku Daurie Bintang punya acara. Acaranya dihadiri sekira tiga ratusan mahasiswa calon guru dan mereka yang sudah menjadi guru.

Tiba di Auditorium Ragunan tampak peserta berjubel di meja pendaftaran. Hari ini hari kedua mereka mengikuti kegiatan Workshop Guru: Bangkit Guruku, Bangkit Indonesiaku. Setelah kupijit nomor telefon suara Mas Daurie memintaku untuk masuk. Di tangga itu Mas Daurie sudah menunggu.

Di dalam acara sudah berlangsung. Pemateri dari CCIT Universitas Indonesia sedang memberikan materi. Aku masuk ruangan itu. Beberapa orang panitia yang masih berstatus mahasiswa menyambut kami. Kusalami satu persatu. Yang kuingat dari sekian banyak panitia itu ada Mbak Novi dan Mbak Shofa. Sementara dua pemuda yang menjadi peserta kuingat bernama Bayu dan David. Juga ada Edward. Sebagian besar peserta workshop hari ini merupakan mahasiswa dari sebuah universitas di daerah Pasar Rebo.

Selang dua jam dari sejak kehadiranku di tempat ini Mas Daurie memasuki pentas. Kini giliran materi yang akan dia sampaikan. Pernahkah kawan membayangkan sebuah acara workshop dengan pemateri berambut gondrong mengenakan celana jeans dan berkaus oblong. Ini memang luar biasa. Dahsyat kukira. Dalam kepalaku pengisia acara model begini berkemeja necis dan bercelana katun.

Namun tentu saja akan menjadi salah jika menilai seseorang hanya dari cara berpakaian. Saat memalukan sekali berpikir demikian. Maka aku tak ingin menilai. Seperti juga yang diajarkan Mas Daurie kepada para peserta workshop.

Waktu menunjukan pukul sebelas tepat ketika Mas Daurie memintaku ke depan. Sebelumnya aku duduk di barisan belakang. Aku diperkenalkan sebagai guru dari pedalaman. Hari ini aku diminta bercerita tentang aktivitasku sebagai guru. Selain itu tentu saja aktivitasku di luar urusan mengajar di SMPN Satap 3 Sobang.

Ya, aku diminta untuk bercerita tentang Taman Baca Multatuli dan kegiatan Reading Group Max Havelaar. Taman baca yang tentu saja sebagai kawan pernah mendengar atau membacanya. Taman Baca Multatuli yang berada di kampung yang hingga kini belum teraliri listrik dan hanya dapat dijangkau dengan sepeda motor.

Di depan para calon guru dan guru kusampaikan kisahku. Tentu saja seputar bagaimana mengelola taman baca dan mengurusi Reading Group Max Havelaar. Sebelum memulai berkisah, Mas Daurie memuta drama Saijah dan Adinda. Drama yang dipentaskan anak-anak Taman Baca Multatuli hari Jumat tanggal 13 Mei yang lalu. Drama dengan proferty kerbau sungguhan. Lalu ada beberapa foto kegiatan juga ditampilkan.

Kini waktuku berkisah. Aku berkisah seperti yang kusampaikan di atas. Aku mengawali menjadi guru di pedalaman Lebak. Di Banten. Membawa beberapa buku dengan boks plastik 60 liter. Lalu menamai Taman Baca Multatuli. Lalu Reading Group Max Havelaar selama sebelas bulan. Terhitung sejak 23 Maret 2010 hingga 21 Februari 2011. Juga dilanjutkan dengan Reading Group Saijah dan Adinda berbahasa Sunda selama tiga bulan (23 Februari 2011-12 April 2011).

Pukul setengah satu aku selesai berkisah dan bertanya jawab. Para peserta istirahat. Makan dan minum juga bertemu kekasihnya. Setengah dua Mas Daurie melanjutkan materi workshop hingga pukul empat. Pukul empat aku berpamitan. Aku sampaikan permohonan maafku sebab aku pulang lebih awal. Juga rasa terima kasihku sebab aku bahagia bertemu dengan mereka calon guru dan para guru.

Terima kasihku untuk Mas Daurie juga panitia. Kuarahkan sepeda motorku ke Terminal Lebak Bulus. Dari Ragunan hingga ke Terminal Lebak Bulus tiga puluh menit lamanya. Aku menuju loket nomor 24. Dengan bus Safari Dharma Raya aku menuju rumah ini.

Ya, pukul lima sore busku meninggalkan Lebak Bulus. Menyusuri jalan tol Jakarta Cikampek yang padat. Keluar Cikampek dalam hitunganku ada tiga jembatan yang sedang diperbaiki hingga Pamanukan. Pamanukan kota kelahiranku. Di sana aku dibesarkan. Di rumah makan Taman Sari busku berhenti. Menuku nasi putih, mi goreng dengan sayuran di dalamnya, sayur lodeh, dan ayam bakar. Kuhabiskan santapan malamku.

Bus melaju meninggalkan Pamanukan yang makin menggeliat. Aku tak dapat tidur maka kuputuskan membaca Anne Frank. Di Brebes macet hebat menghadang laju kendaraan. Aku tak sempat menghitung jumlah jembatan yang sedang diperbaiki. Juga jalan yang sedang direnovasi. Namun pak sopir terus berbincang denganku. Aku keluar dari kursi nomor tujuh tempatku. Kuisi kursi sang kernet yang terlelap di belakang. Di kursi yang bersebelahan dengan sopir itu aku duduk dan berbincang. Pak sopir berbahasa Jawa campur Indonesia. Sesekali ia menyodok memasuki jalur berlawanan.

Selepas Brebes aku tak ingat lagi. Aku tertidur. Di pekalongan aku terbangun kembali dan tertidur lagi. Pukul tiga tepat aku turun dari bus. Kulihat kami sudah tiba di Gringsing. Gringsing jika tak salah nama tempatnya. Adanya di Temanggung. Setelah cuci muka dan minum teh panas. Mobil melaju kembali. Subuh menggema saat bus memasuki Magelang.

Pukul enam aku tiba di Terminal Jombor. Melanjutkan perjalanan dengan Trans Jogja nomor 2A hingga Malioboro. Di Malioboro aku sambung dengan 3A turun di depan SMA 7 Jogjakarta. Kukira Trans Jogja sungguh nyaman. Dengan sekali bayar tiba di tujuan.

Kususuri jalan di depan SMA 7 ini. Hingga di sebuah gang aku bertanya alamat rumah ini. Yang ditanya memberiku petunjuk. Aku harus masuk nanti ketemu Patehan Kidul lalu lurus saja hingga mentok. Nah, lalu belok kiri di sebelah kanan ada alamat ini.

Kumasuki pekarangan rumah ini. Sebuah papan nama bertuliskan [I:BOEKOE] INDONESIA BUKU dengan warna hijau menyambutku. Sebuah gerobak dengan penutup bertuliskan Balai Belajar Bersama Angkringan Buku di sebalah kanan. Dan sebuah lagi di arah sebaliknya. Pemilik tempat, Mas Muhidin M Dahlan menyambutku. Ada juga Mbak Diana Sasa di sana juga kawan-kawan dari Surabaya. Mas Sigit Susanto, Mas Wawan, dan Mas Tommas sedang berjalan kaki pagi hari. Semalam aku bertelefon dengan Mas Sigit.

Seharusnya aku tiba di tempat ini pukul tujuh malam. Ya, sebab malam saat aku di bus di I:BOEKOE sedang berlangsung acara PARADE OBROLAN KARYA, Diskusi 10 Buku dalam Semalam! Kesepuluh karya yang dibedah malam itu di antaranya 2 novel, 2 kumcer, 1 esai, 3 kumpulan puisi, dan 2 karya terjemahan.

Kesepuluh karya tersebut secara berurutan, yaitu novel Rinai Kabut Singgalang, karya Muhamad Subhan dengan pembicara Aguk Irawan; novel Sak Drajat Coro & Tikus, karya Rahmat Ali dengan pembicara Yahya TP; kumpulan cerpen Mengawini Ibu, karya Khrisna Pabichara dengan pembicara Vivi Diani Savitri; kumpulan cerpen Di Bawah Bayang-Bayang Bulan, karya Gus Noy dengan pembicara Arie Saptajie; esai Asep Sambodja Menulis, karya Asep Sambodja dengan pembicara Saut Situmorang; kumpulan puisi Festival Bulan Purnama Trowulan 2010, karya Zawawi, Viddy, Niduparas, Budi, Bayu dkk. dengan pembicara Saiful Amin Ghofur; kumpulan puisi Rembulan, Matahari dan Bayangan, karya Urip H.K, Maureen. S dengan pembicara Totok Anindya Barata; kumpulan puisi Halaman Rumah, karya Yayan Triyansyah dengan pembicara Y Thendra BP; terjemahan Rahasia Hati Sang Nabi, karya Khalil Gibran, penerjemah Anton Kurnia dengan pembicara Hamdi Salad; terjemahan The Ninth Anak Kesembilan, karya Verenc BarnĂ s, penerjemah Vira Tanka dengan pembicara Wawan Eko Yulianto.

Semua buku yang dibedah malam itu merupakan buku-buku karya penulis yang tergabung di milis Apresiasi-Sastra (Apsas). Kegiatan malam ini merupakan kegiatan penutupan dari rangkaian berbagai kegiatan yang dilaksanakan Apsas. Sebelumnya pada tanggal 13-15 Mei ada acara Sastra Multatuli di Taman Baca Multatuli. Kemudian pada tanggal 17-23 Mei ada acara Obrolan Sastra di Pondok Maos Guyub di Kendal. Dan di I:BOEKOE ini merupakan acara penutupan.

Ah, sayang aku datang ketika acara enam jam telah usai. Namun kebahagiaanku tentu saja masih berlimpah. Setelah berbincang sebentar aku izin untuk ikut mandi. Kamar mandinya bersih dengan bak besar. Di dindingnya terdapat stiker dengan tulisan BERSIH LEBIH BERBUDAYA dengan ilustrasi seekor burung dengan kepakan sayap sedang buang kotoran dalam tanda silang merah.

Rumah ini didominasi dengan buku. Di setiap sudut ada buku. Ya, tentu saja namanya saja Indonesia Buku. Rumah dengan ruang tengah yang luas dengan cat yang didominasi warna merah, kuning, hijau, dan biru ini memang cocok dengan nama yang disandangnya. Bahkan di beberapa kamar bejibun arsip dalam tatanan yang rapi dan tentu saja membuat iri. Di salah satu bagian ada ruang radio. Ya, radio. Radio online di Indonesia Buku.

Di salah satu sudut kami berbincang. Ada aku, Mas Muhidin, dan Mbak Sasa. Empat kursi kayu, empat kursi jok dengan batang besi tempat kami berbincang. Tak lama berselang Mas Muhidin mengajak aku bercerita tentang Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar di studio Radio Buku, tentu saja.

Pukul setengah delapan Mas Sigit, Mas Wawan, Mas Tommas kembali sehabis jalan pagi. Kami berbincang banyak hal. Mulai Multatuli hingga Tolstoy. Dari karya terjemahan hingga sastrawan yang sungguh-sungguh dalam berkarya. Dari Lekra hingga kesenian rakyat.

Pukul setengah dua belas kami berempat pamitan kepada tuan rumah. Aku, Mas Sigit, Mas Wawan, dan Mas Tommas berjalan menyusuri Patehan hingga Taman Sari. Ya, kami mampir dan berkeliling keraton Taman Sari. Taman Sari tempat mandi puteri-puteri dan para perameswari. Kami memasuki ruang demi ruang keraton ini. Menyusuri lekuk demi lekuk lorong denga pentilasi udara yang baik. Hingga tiba di sebuah sumur selepas melalui lorong yang di atasnya rumah-rumah warga.

Minum es pisang ijo setelah keluar dari Taman Sari nikmat sekali. Terik matahari siang ini. Siang di hari Rabu tanggal 25 Mei 2011 tak menyurutkan langkah kami. Hingga kami tiba di keraton. Keraton tempat raja Jogjakarta tinggal. Setelah membeli karcis dan tanda membawa kamera kami mendapatkan seorang abdi dalem yang akan menjadi pemandu. Aku akan sebut dia Mbah. Mbak membawa kali ke berbagai sisi dari keraton. Ke tempat-tempat yang menyimpan berbagai barang milik raja. Juga berbagai pernik aktivitas raja. Ada koleksi barang-barang Sri Sultan Hamengkubuwono IX hingga pakaian Sri Sultan Hamengkubuwono X saat dilantik.

Mas Sigit sebab semalam tak tidur permisi untuk istirahat di depan pendopo yang menyuguhkan kesenian wayang golek. Kami bertiga berkeliling dengan Mbah sebagai pemandu. Serombongan pelajar dari SMA 10 Tangerang padat mengisi tiap ruangan. Juga turis mancanegara. Mbak bercerita. Ia telah tiga puluh tahun mengabdi. Jika di pemerintahan pangkatnya setingkat bupati. Jika di kepolisian ia letnan kolonel. Para abdi dalem keraton bekerja dengan penuh cinta meskipun ada yang digaji hanya dua puluh lima ribu sebulan. Ya, dua puluh lima ribu rupiah saja. Namun karena rasa cinta yang melekat maka pekerjaan itu menjadi menyenangkan.

Siapa pun dapat menjadi seorang abdi dalem. Mbah berbakaian lengkap namun tanpa alas kaki. Memang para abdi dalem saat bertugas tidak mengenakan alas kaki. Pelataran keraton dilapisi pasir yang sengaja ditaburkan. Para pengunjung harus melepaskan penutup kepala. Mas Wawan dua kali diingatkan sebab topi putihnya masih melekat di kepala.

Puas berkeliling kami menuju tempat Mas Sigit beristirahat. Menunggu sekira sepuluh menit hingga Mas Sigit terbangun. Kami menuju alun-alun utara. Semangkuk soto ayam menemani makan siang kami. Kecuali Mas Wawan yang menikmati pecel.

Kami berpisah di Malioboro. Mas Sigit dan Mas Tommas menuju rumah Mas Puthut. Aku dan Mas Wawan melanjutkan berjalan di trotoar Malioboro yang ramai. Selang dua puluh menit aku dan Mas Wawan berpisah. Mas Wawan melanjutkan ke Stasiun Tugu yang akan membawanya dengan kereta ke Malang. Sementara aku menaiki Trans Jogja kembali ke Indonesia Buku.

Ya, saat ini. Saat menulis catatan ini. Aku masih di Indonesia Buku. Di tempat buku berada. Di tempat yang membuat siapa pun yang datang akan terperangah dengan kegilaan pengelolanya. Kegilaannya terhadap buku. Aku akan kembali saat malam menjelang nanti. Salam malam.

Patehan, 25 Mei 2011, Pukul 16.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar