Kamis, 14 Maret 2013

Rinai Kabut Singgalang Sebuah Novel Rasa Minang

Oleh Irzen Hawer*)

ISTILAH “novel Minang” pernah penulis dengar di kalangan sastrawan atau di kalangan penikmat sastra.

Novel Minang? Apa pula itu novel Minang? 

Pada kesempatan ini penulis ingin memberikan sedikit gambaran tentang istilah novel Minang ini. Secara metode analitik (bahasan sebagian), latar merupakan struktur sebuah teks sastra. Latar merupakan elemen struktural fiksi yang menjelaskan ruang dan waktu terjadinya penceritaan. Seperti latar tempat yang berkaitan dengan geografis, latar waktu berkaitan dengan historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan atau budaya dan adat istiadat.

Apakah budaya dan adat minang merupakan ‘realitas objektif’ dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang kita bicarakan ini? 

Istilah “novel Minang” sebetulnya dalam teori sastra tidak ada. Kalau ada tentu ada pula novel Batak, novel Sunda, novel Bali, novel Bugis dan lain sebagainya. Yang ada sebenarnya adalah novel berlatar (ranah) Minang, atau novel berlatar budaya dan adat istiadat Minangkabau.

Novel berlatar (ranah) Minang adalah novel yang kisahnya mengambil setting di ranah Minangkabau. Mingkin saja kisahnya terjadi di Padangpanjang, Bukittinggi, Pasaman, Padang atau di pelosok-pelosok desa. Masalah-masalah dalam novel ini adalah mankind  is one kemanusiaan itu adalah satu dan sama di mana-mana. Masalah kemanusiaan umumnya—yang bisa saja terjadi di tempat lain di Indonesia, seperti konflik sosial, percintaan, pertentangan anak dan orangtua. Ini terlihat pada novel-novel seperti Kekuatan Cinta, Hatinya Tertinggal di Gaza, Cinta Bertabur di Langit Mekah, Andika Cahaya, Gerhana di Kota Serambi, Lonceng Cinta di Sekolah Guru, Mencari Cinta yang Hilang, dan masih banyak lagi novel yang hanya memakai lokasi-lokasi setting ranah Minang. Novel-novel ini berkisah hal umum atau hal biasa yang—sekali lagi—bisa saja terjadi terjadi di mana-mana.

Akan halnya novel berlatar budaya Minang, adalah novel yang mengangkat realitas objektif budaya Minangkabau dengan segala macam persoalannya. Budaya yang matriakhat hanya ada di Minangkabau ini. Persoalan-persoalan  adat istiadat sangat kental dalam novel-novel berlatar budaya Minang ini. Pengarang dalam realitas objektif mengadakan pemberontakan dan protes dalam novel-novelnya. Seperti novel-novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang mempermasalahkan hal yang tabu dalam adat istiadat—atas percintaan Hayati dengan Zainuddin yang bukan orang Minang telah dianggap “mencoreng arang di kening,” atau novel Cinta di Kota Serambi yang mempertentangkan mamak dan kemenakan yang dipicu persoalan harta pusaka tinggi. Di dalam novel ini juga digambarkan wajibnya laki-laki Minang belajar silat Minang, bahkan sejarah silat Minang dan filosofi silat Minang digambarkan secara rinci. Atau dalam novel Mengurai Rindu yang penulis bahas sebulan lewat dalam ruang sastra koran ini yang juga mempersolkan pertentangan antara mamak dan kemenakan dalam hal memilih jodoh. Karena adat dan buadaya Minang yang berdasarkan garis keibuan (matrilinear) ini unik, maka muncul multikonflik yang ditenggarai perbedayaan dan pertentangan mayoritas masyarakat dunia yang patrialiner.

Bagaimana pula dengan novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan ini? Apakah novel Rinai Kabut Singgalang berlatar (ranah) Minang, atau berlatar budaya Minang?

Novel Rinai Kabut Singgalang diawali dengan alur flashback.

Awal kisah, di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara, tokoh Fikri tak kuasa menghadapi situasi ayahnya yang sedang meregang ‘maut’. Diparuh kisah, di depan matanya, Mak Safri, mamaknya Fikri merenggang ‘maut’ kerena kena tikam oleh orang—yang sebenarnya dialah (Fikri) target penganiayaan oleh beberapa pemuda yang tidak senang kehadirannya di Kajai, Pasaman, sebuah dusun tanah kelahiran ibunya. Setelah Fikri hijrah ke Padang, selanjutnya orang-orang yang dekat, malah sangat dicintainya, beruntun menghadapi ‘maut’. Mulai Maimunah ibunya Fikri yang meninggal di Aceh, Bu Aisyah ibu angkatnya yang meninggal karena tertekan perasaan di Padang, adiknya Annisa beserta suami dan anaknya turut meninggal akibat bencana tsunami Aceh, Ningsih yang meninggal sekeluarga akibat kecelakaan pesawat menuju Padang—yang kepulangan Ningsih dari Jakarta ke Padang dalam rangka merekat kembali hubungan adiknya Rahima dengan Fikri, sebab suami Rahima telah memilih ‘maut’ dengan minum racun di penjara—alhasil Fikri yang juga sepesawat dengan Ningsih, juga meninggal dunia. Dan terakhir pada ending cerita Rahima juga menyusul Fikri menghadapi ‘maut’.

Fikri telah menjadi pemuda cerdik dari kausalitas peristiwa ‘maut’ yang beruntun ini. Maut demi maut yang dia ratapi, malah mengubah nasibnya jadi penulis sukses. Mengapa tidak? Andai saja, ya, andai  ayahnya masih segar bugar dia akan jadi anak yang selalu hidup di bawah ketiak orangtuanya, bercengeng-cengeng, manja seperti anak yang lain. Andai mamaknya terus hidup dia akan terjebak ‘menebus dosa’ ibunya dulu dengan menghabiskan umur merawat mamaknya yang terlantar, yang terpasung di tengah rimba di Kampung Kajai, Pasaman. Andai juga Bu Aisyah orangtua angkatnya masih hidup, agak sulit alasan Ningsih ‘melarikan’ Rahima ke Jakarta—yang menyebabkan Fikri terkapar berdarah-darah patah hati yang kejadian ini telah menyulapnya jadi orang sukses di kemudian hari.

Siapa yang kuasa atas ‘maut?’ Mengapa maut datang silih berganti? Ada apa di balik maut dan bagaimana menyikapinya bila melanda orang-orang yang kita cintai? Inilah pembelajaran moral yang ditawarkan Muhammad Subhan, pengarang Rinai Kabut Singgalang kepada pembaca.

Dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini Muhammad Subhan sangat intens mencurahkan perhatiannya pada plot dan karakter tokoh, sedangkan menurut saya latar hanya direncanakan secukupnya saja untuk memberi kemungkinan yang perlu bagi terjadinya suatu peristiwa atau tindakan tertentu, seperti panorama alam Ranah Minang yang terkenal memesona atau kuliner ciri khas Kampung Kajai goreng ikan sungai sambal cabai hijau. Dan inilah rasa Minang yang bisa pembaca cicipi dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini pengarang tampak tidak memiliki interes yang sungguh-sungguh untuk menggarap latar budaya dan adat istiadat Minangkabau yang multikonflik—yang sekomplit konflik dalam novel-novel yang disebutkan di atas tadi.

Sungguh pun begitu, Muhammad Subhan telah berhasil mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai diabaikan. Rasa Minang hadir dalam kisah perkisah. Pengarangnya mengingatkan kita pada novel-novel terbitan Balai Pustaka, yang sarat dengan bahasa yang santun, halus, dan penuh pesan-pesan Ilahiah. Begitulah. (*)

*) Penulis adalah pengarang novel Cinta di Kota Serambi, berdomisili di Kota Padangpanjang


Sumber: Surat Kabar Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 16 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar